Fatwa Bisa Berubah
Hukum itu tidak stagnan. Karena itu ada istilah nasikh-mansukh dalam sejarah syariat Islam. Yang sebelumnya halal dinyatakan haram. Yang sebelumnya haram dihalalkan. Sesuai dengan maqashid syari’ah.
Contohnya masalah ziarah kubur. Awalnya para perempuan dilarang melakukan ziarah kubur. Karena mereka suka menangis secara histeris sambil merobek-robek baju sampai nampak aurat mereka. Namun setelah ada perubahan perilaku, mereka pun diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur.
Juga nikah mut’ah. Pernah beberapa kali dihalalkan dan diharamkan. Nikah mut’ah pernah beberapa kali dihalalkan ketika Rasulullah Saw. dan para shahabat sedang melakukan peperangan, jauh dari keluarga (istri). Sampai sebagian shahabat meminta izin untuk berkebiri, saking beratnya menahan hasrat seksual, supaya terhindar dari perzinahan. Namun beliau melarang para shahabat berkebiri. Sebagai gantinya beliau mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah.
***
Uang Kertas Yang Sekarang Beda dengan Yang Dulu
Pada awalnya setiap lembar uang kertas itu ada jaminannya, yaitu berupa emas sekian gram. Sewaktu-waktu orang yang memiliki uang kertas itu bisa menukarkannya dengan emas di bank. Dengan demikian, bank tidak bisa mencetak uang secara sembarangan. Ada hitungannya secara jelas dan gamblang.
Itu dulu. Adapun sekarang uang kertas yang kita pegang tidak bisa lagi ditukarkan dengan emas ke bank. Sementara bank tetap punya hak untuk terus-menerus mencetak uang. Dari sini harga uang kertas itu dari waktu ke waktu selalu turun. Ini yang disebut sebagai inflasi. Harga barang itu kadang naik dan turun, namun harga uang dari tahun ke tahun pasti turun.
Ketika uang kertas itu masih bisa ditukarkan dengan emas, maka bunga bank itu merupakan riba. Dalam keadaan ini bunga bank adalah haram.
Namun ketika uang kertas itu tidak bisa ditukarkan dengan emas, maka fatwa tentang bunga bank itu harus ditinjau ulang. Karena keadaan uang kertas zaman sekarang sudah tidak sama dengan zaman dahulu.
***
Alasan Dilarangnya Riba
Orang pinjam-meminjam itu semangatnya adalah hubungan sosial untuk saling membantu. Bukan lahan bisnis. Sehingga setiap transaksi untuk mencari keuntungan di sini hukumnya adalah riba, alias haram.
Lain halnya dengan mudharabah. Memang mirip orang yang pinjam uang. Tapi jelas akadnya adalah untuk modal kerja. Maka pihak yang meminjamkan uang berperanan sebagai investor. Sedangkan pihak yang meminjam berperanan sebagai pengusaha. Kalau rugi ditanggung bersama. Kalau untung juga dibagi berdua.
Baca pula:
Hukum Mencari Laba Terlalu Banyak Bolehkah?
***
Jumlah Uang atau Nilainya?
Pada tahun 1990 seseorang pinjam uang kepada saudaranya sebanyak Rp 1 juta. Waktu itu jumlah uang tersebut nilanya sama dengan dua ekor sapi dengan ukuran sedang.
Pada tahun 2020 hutang itu baru akan dibayar.
Apakah adil bila hutang itu dibayar dengan mengembalikan Rp 1 juta. Padahal sekarang harga satu ekor sapi dengan ukuran sedang itu adalah Rp 25 juta?
Bila orang itu tetap nekad untuk mengembalikan hanya Rp 1 juta, tidak ragu lagi dia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Memang uang yang dia pinjam hanya Rp 1 juta. Namun sudah sepantasnya dia bisa memperhitungkan perasaan dan pikiran orang yang telah berjasa padanya. Inilah yang disebut empati. Bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Inilah akhlak, sebagai tujuan tertinggi dari risalah kenabian.
“Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Allahu a’lam.
Hukum Mencari Laba Terlalu Banyak Bolehkah?
[…] Hukum Uang Kertas, Emas, Bunga Bank dan Riba […]
Gopay Itu Haram Karena Mengandung Unsur Riba?
[…] Baca pula: Hukum Uang Kertas, Emas, Bunga Bank dan Riba […]