Apa saja yang perlu kita persiapkan sebelum kita melaksanakan shalat? Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan sebelum melaksanakan shalat, yaitu: suci dari najis dan hadats, menutup aurat, sudah masuk waktu shalat, dan menghadap kiblat.
1. Suci dari Najis
Allah memberikan perintah kepada kita untuk selalu menjaga kesucian, baik secara lahir maupun secara batin. Allah Swt. berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.
Dan pakaianmu sucikanlah. (al-Muddattsir: 4)
Dalam ayat di atas, Allah I memberikan perintah kepada kita untuk selalu menjaga kesucian pakaian. Apabila kesucian pakaian diperintahkan, tentu demikian pula halnya dengan kesucian badan dan tempat. Dan apabila kesucian lahir saja diperintahkan, tentu demikian pula kesucian batin. Allah I berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang selalu bertaubat (selalu berusaha menjaga kesucian batin) dan berthaharah (selalu berusaha menjaga kesucian lahir). (al-Baqarah: 222)
Taubat itu mensucikan diri dari kotoran batiniah, sedangkan berthaharah itu mensucikan diri dari kotoran lahiriah. Kotoran batiniah itu bisa berupa perasaan yang tidak dibenarkan, seperti perasaan iri-dengki, sombong-takabur, kikir-bakhil, dan lain-lain. Adapun kotoran lahiriah itu bisa berupa kotoran hewan ataupun kotoran manusia. Ketika akan melaksanakan shalat, hendaknya badan, pakaian, dan tempat shalat suci dari segala macam najis.
***
2. Suci dari Hadats
Selain suci dari najis, badan kita juga harus dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Hadats besar kita hilangkan dengan mandi besar, mandi junub, atau mandi jinabat.
Hadats kecil kita hilangkan dengan berwudhu yang benar. Apabila kita tidak ada air, ada air tapi tidak mencukupi, atau ada air tapi tidak boleh memakainya karena sakit misalnya, maka kita boleh mengganti mandi dan wudhu itu dengan tayamum.
***
3. Menutup Aurat
Sebenarnya aurat harus selalu kita jaga, baik ketika sedang shalat maupun tidak sedang shalat. Aurat ini ada dua, yaitu aurat besar dan aurat kecil.
Aurat besar dan aurat kecil
Untuk laki-laki, aurat besarnya adalah dubur dan qubul (alat kelamin). Sedangkan aurat kecilnya adalah dari pusar sampai lutut.
Untuk perempuan, aurat besarnya adalah payudara, dubur dan qubul. Sedangkan aurat kecilnya adalah seluruh bagian tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Selain diri sendiri, tidak ada orang yang boleh melihat aurat besar itu, kecuali suami/isteri. Oleh karena itu, mandi bersama yang dilakukan bukan pasangan suami-isteri tidak diperbolehkan, meskipun sejenis kelamin.
Ada mahasiswa yang karena hampir terlambat masuk kuliah, mandi bersama temannya yang satu rumah. Sesungguhnya hal ini tidak boleh, kecuali mereka menutup aurat masing-masing dengan baik, misalnya dengan menggunakan celana pendek.
Sedangkan yang boleh melihat aurat kecil itu hanyalah mahram (orang yang haram menikahi atau dinikahi oleh yang bersangkutan) dan yang sejenis kelamin. Oleh karena itu, ketika hendak keluar rumah, atau menerima tamu lawan jenis yang bukan mahram, kita harus menjaga aurat, baik aurat besar maupun aurat kecil.
Termasuk untuk shalat di sini, kita harus menutup seluruh aurat, baik aurat besar maupun aurat kecil.
Catatan khusus
Dan ada sedikit catatan di sini yang perlu kami sampaikan, khususnya bagi laki-laki. Memang benar, bahwa aurat laki-laki yang hendak melaksanakan shalat hanyalah sebatas pusar hingga lutut. Apabila kita shalat hanya menggunakan sarung misalnya, sesungguhnya shalat kita sudah sah, baik shalat di dalam rumah maupun di masjid. Namun tentunya hal itu tidak pantas. Apalagi ketika akan menjadi khathib dan imam shalat, tentu hal itu akan menjadi lebih tidak etis. Orang berangkat kerja bakti saja berpakaian rapi, apalagi hendak berangkat menghadap Allah, tentu harus lebih baik.
***
4. Sudah Masuk Waktu Shalat
Sebelum melaksanakan shalat, hendaknya kita sudah mengetahui bahwa waktu shalat sudah datang. Yang demikian itu karena setiap shalat ada waktunya yang tertentu. Shalat Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ memiliki waktunya sendiri-sendiri. Kita tidak boleh melaksanakan shalat Shubuh di waktu Dhuhur ataupun Isya’, misalnya. Sekali lagi, karena setiap shalat itu memiliki waktunya yang tersendiri.
Kita hanya boleh melaksanakan shalat yang sebenarnya belum masuk waktunya dalam keadaan tertentu saja, seperti ketika akan atau sedang bepergian jauh (safar). Inilah yang disebut dengan jama’, yaitu mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu. Ini pun kita lakukan tidak secara sembarangan, alias ada aturannya.
Shalat Dhuhur hanya boleh kita jama’ dengan shalat Ashar, dan shalat Maghrib hanya boleh kita jama’ dengan shalat Isya’. Adapun shalat Shubuh selamanya tetap sendirian, alias jomblo.
Bila ada orang yang secara sengaja melaksanakan shalat, padahal waktu shalat belum tiba, dan ia mengetahuinya, maka shalat orang itu tidaklah sah. Ketika waktu shalat telah benar-benar tiba, ia wajib mengulang shalatnya.
***
5. Menghadap Kiblat
Setiap shalat kita wajib menghadap kiblat, yaitu Ka’bah yang ada di Kota Mekkah. Dan tidak boleh kita merubah arah kiblat, seperti ke arah Monas atau Gedung Putih.
Kisah sejati
Di desa kami ada seorang yang diberikan keuangan yang cukup melimpah. Hampir semua lokasi strategis yang ada di desa menjadi hak miliknya dengan cara baik-baik. Suatu saat, ia pun diberikan kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan ibadah umrah bersama isteri dan kedua orang mertuanya. Tentu kami semua turut bergembira dengan keberangkatannya ke tanah suci itu. Kami semua berharap bahwa ia akan pulang dengan menjadi seorang muslim yang lebih baik.
Namun alangkah terkejutnya kami semua, karena ia pulang dengan oleh-oleh yang amat aneh bin ajaib. Kepada kerabat, tetangga dan teman-temannya ia menyampaikan kekecewaannya yang mendalam. Ternyata Ka’bah itu tidak lebih daripada bangunan yang amat sederhana. Ia hanya berupa tumpukan batu yang ditutupi kain. Ternyata bangunan itulah yang menjadi kiblat shalat kita selama ini.
Walhasil, ia pun meninggalkan shalat secara keseluruhan, bahkan ia mengajak orang-orang di sekitarnya untuk juga meninggalkan shalat. Astaghfirullahal-‘azhim…
Pelajaran berharga
Orang seperti itu tidak paham, bahwa menghadap kiblat merupakan urusan ibadah yang bersifat ritual, yang tata caranya sudah ditentukan oleh agama. Yang demikian itu tidak bisa dirubah ataupun ditiadakan.
Suatu saat, Umar bin Khatthab berkata kepada Hajar Aswad, “Sungguh aku tahu, kamu hanyalah sebuah batu, yang tidak mampu memberikan manfaat maupun madharat. Tapi aku mencium kamu, karena aku pernah melihat Rasulullah Saw. mencium kamu.”
Orang seperti itu tentu tidak lebih kaya daripada Qarun, juga tidak lebih berkuasa daripada Fir’aun. Semoga orang seperti itu segera menyadari kesalahannya, dan melakukan taubat nashuha. Bila tidak, maka ia akan menjadi pelajaran yang berharga bagi orang lain, setidaknya bila kelak ia akan dan telah mati… Na’udzu billahi min dzalik…
__________________
Sumber/Bacaan Utama:
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Wizarah al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyah. (Kuwait: Dar as-Shafwah, 1992).
Artikel Ta’lim as-Shalah as-Shahihah, Syeikh Hadi Fehmi. mawdoo3.com
Tinggalkan Balasan