Saya tidak menyebutnya sebagai budaya salah satu ormas. Karena budaya tahlilan ini sudah ada jauh sebelum ada ormas-ormas Islam di Indonesia. Karenanya tahlilan itu merupakan salah satu kekayaan budaya tingkat nasional. Atau katakanlah tingkat dunia. Karena saya yakin budaya ini juga ada di berbagai belahan dunia yang lain. Dan pelakunya juga bukan orang Indonesia saja.
Saya juga tidak akan membahas masalah ini dari sisi hukum, utamanya hukum Islam. Di mana ada sebagian yang menganggap tahlilan sebagai bid’ah yang harus diberantas. Meskipun realitanya sekarang orang-orang yang berpendapat seperti ini akhir-akhir ini mulai melunak. Mungkin karena ada orang-orang berpengaruh yang dulu asalnya dari ormas sebelah, terus bergabung ke ormas yang ini. Allahu a’lam. Menarik sebagai bahan kajian, namun saya tidak akan melanjutkannya. Mungkin kali bisa kita bahas dengan lebih baik.
Fokus pembicaraan kita kali ini adalah pengalaman saya ketika salah seorang saudara dari istri meninggal dunia.
Terus terang memang saya lahir dan dididik oleh ayah yang merupakan seorang warga Muhammadiyah. Namun dari golongan “luwes”. Mungkin karena kami tinggal di pedesaan yang Muhammadiyah di situ sebagai warga minoritas. Bahkan amat sangat minoritas. Bisa dihitung dengan jari pada tingkat kecamatan. Namun pendidikan kemuhammadiyahan yang ditanamkan oleh almarhum ayah saya beliau lakukan secara intens. Melalui dialog yang serius sejak SMP. Bukan doktrin.
Oleh karena itulah. Keluarga kami memang tidak pernah sekalipun menyelenggarakan tahlilan. Sampai sekarang.
Sampai kemudian beberapa waktu yang lalu. Seorang saudara kandung dari istri meninggal dunia. Pada kesempatan kali inilah saya secara dekat menyaksikan bagaimana kegiatan tahlilan ini dilaksanakan.
Sebagai sedikit tambahan informasi. Dua orang kakak istri merupakan alumni pesantren dengan tingkat pemahaman yang sangat tinggi. Benar-benar mahir membaca kitab dengan derajat sangat baik. Tidak kalah dengan alumni universitas Timur Tengah dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kiasan. Hal ini perlu kami sampaikan, sebagai pembanding. Bahwa jangan sampai kita menyalahkan praktik keagamaan yang berbeda. Sebagai muqadimah.
Tinggalkan Balasan