Pengertian Takwa
Dalam Kitab Mufradat Alfadhil Quran, ar-Raghib al-Ashfahani mendefinisikan takwa dengan: “Menjaga diri dari dosa, yaitu dengan cara meninggalkan semua yang diharamkan. Dan takwa menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang mubah, yang diperbolehkan.”
Kisah Imam Abu Hanifah Yang Pertama
Suatu hari Imam Abu Hanifah, pendiri madzhab Fiqih Hanafi yang juga seorang pedagang sukses, sebelum meninggalkan tokonya berpesan kepada pembantunya, “Baju ini cacat,” sambil menunjuk bagian tertentu pada baju tersebut yang hampir tidak kelihatan cacatnya, “Maka bila ada yang berminat beritahulah orang itu.”
Beberapa saat kemudian Imam Abu Hanifah kembali dan melihat baju tersebut sudah tidak ada di tempat. Pembantunya segera memberi penjelasan, “Alhamdulillah baju tadi sudah terjual, namun saya lupa memberitahu pembelinya bahwa baju tersebut sedikit cacat.”
Mendengar keterangan tersebut Abu Hanifah memutuskan, “Tolong kamu hitung seluruh keuntungan kita hari ini.” Maka setelah diketahui jumlah keuntungan berdagang pada hari itu, tanpa ragu-ragu Abu Hanifah meyedekahkan semuanya untuk para fakir miskin.
Baca juga: Arbain Nawawiyah 18: Senantiasa Bertakwa dan Ahklak Mulia
Kisah Imam Abu Hanifah Yang Kedua
Pada hari yang lain ketika dalam perjalanan menuju tokonya Imam Abu Hanifah bertemu dengan seorang pelanggan. Setelah mengucapkan salam pelanggan tersebut bercerita bahwa dia baru saja membeli sebuah permadani dari toko Abu Hanifah.
Abu Hanifah terkejut karena pembantu yang hari itu bertugas menjaga toko terlalu banyak mengambil untung. Seketika Abu Hanifah ingin mengembalikan kelebihan tersebut. Namun pelanggan itu menolak, sebab di daerahnya nanti permadani itu akan laku dengan harga dua kali lipat. Tapi Abu Hanifah tetap berkeras mengembalikan keuntungan yang menurut beliau terlalu banyak.
Seorang Faqih Yang Bertakwa
Secara fiqih, tentu Imam Abu Hanifah tidak berdosa karena pembantunya lupa menyebutkan sedikit cacat yang memang hampir tak terlihat. Apalagi yang lalai bukan Abu Hanifah sendiri, tapi pembantunya. Demikian pula pada peristiwa yang kedua. Sebab Abu Hanifah juga sudah memberitahu harga yang seharusnya. Justru pelanggan tersebut yang ngotot tidak mau menerima pengembalian yang ditawarkan oleh Abu Hanifah.
Apakah Imam Abu Hanifah tidak tahu bahwa beliau berhak menerima seluruh keuntungan pada kedua peristiwa itu? Mustahil, karena Abu Hanifah adalah pakar fiqih tiada tanding pada masanya. Ataukah hal itu dilarang dalam madzhab Hanafi? Tidak, lebih-lebih madzhab Hanafi terkenal sebagai madzhab yang relatif banyak memberi kelonggaran. Lalu mengapa beliau menolak seluruh keuntungan yang sebenarnya berhak beliau terima? Jawabnya tiada lain adalah dorongan untuk mencapai derajat takwa yang sempurna.
Memang predikat takwa sudah bisa diraih bila kita mampu meninggalkan seluruh larangan Allah. Namun takwa yang paripurna hanya bisa diraih oleh orang-orang yang mampu meninggalkan sebagian yang diperbolehkan.
Tinggalkan Balasan