Baru saja Ibu Sukmawati putri Bapak Presiden Soekarno membacakan sebuah puisi yang bagi saya sangat menarik. Puisi yang dibacakan pada sebuah acara fashion.
Dalam puisi yang sederhana itu beliau mengungkapkan kekaguman pada konde dan pakaian adat Jawa dibandingkan cadar. Juga kidung Jawa dibandingkan lantunan suara adzan.
Banyak orang marah pada Ibu Sukmawati. Namun sebenarnya kita tidak perlu marah. Justru saya menangkap kejujuran pada bait-bait puisi tersebut. Di mana orang jujur tidak boleh dimarahi.
Orang jujur itu hanya boleh diapresiasi. Atau dikasihani. Hanya dua itu. Bukan dimaki ataupun dimusuhi.
Pengakuan Tidak Paham Syariat Islam
Ibu Sukmawati membuka puisinya dengan pernyataan, bahwa beliau memang tidak paham syariat Islam.
Menurut saya ini pengakuan yang tulus. Sepertinya memang beliau buta ilmu-ilmu syariat Islam. Misalnya Ulumul Qur’an, Musthalah Hadits, atau Ushul Fiqih.
Hal itu beliau tegaskan dengan pengulangan. Bahwa memang beliau benar-benar tidak memahami syariat Islam sama sekali. Istilah Jawa-nya: nol puthul.
Bagi orang seperti beliau, kita tidak boleh marah maupun jengkel. Kita harus memaklumi. Apa yang bisa kita harapkan pada orang yang memang tidak paham, selain kesalahan dan kebingungan.
Orang yang bingung itu tidak boleh kita marahi. Justru dia memperoleh hak atas diri kita yang merasa sudah paham. Untuk menerima pelajaran. Yang penting beliau bersedia untuk belajar.
Apalagi bila beliau sendiri beragama Islam.
***
Budaya Jawa dan Agama Islam
Bagi orang yang sangat awam seperti beliau. Tentu kita tidak bisa menuntut banyak. Apalagi untuk memahami ayat maupun hadits yang berbahasa Arab.
Kalau sudah paham dengan baik. Pastilah beliau tidak akan membacakan puisi tersebut.
Nah, hasil dari ketidaktahuan adalah kesalahan. Kalau tidak tahu tapi hasilnya betul, disebut dengan kebetulan. Dan kali ini sudah jelas beliau telah melakukan kesalahan, bukan kebetulan.
Dalam puisi yang sangat sederhana itu, beliau hendak membandingkan budaya Jawa dan agama Islam.
Di sinilah satu kesalahan demi kesalahan kita dapatkan dalam pernyataan puisi itu.
1. Islam dan Jawa itu ibarat tumbu ketemu tutup
Sebenarnya ini pepatah Jawa yang sangat populer. Entah bagaimana seorang Jawa berpendidikan tidak mengetahui peribahasa ini. Aneh.
Jawa dan Islam itu tidak perlu dipertentangkan. Keduanya adalah sepasang kekasih yang telah jatuh cinta sejak pandangan pertama. Langsung lengket dan tak mau berpisah. Keduanya menyatu.
Atau sesungguhnyalah! Islam dan Jawab itu sudah saling rindu sejak belum bertemu. Setelah bertemua, maka keduanya pun bersatu. Untuk bersama-sama meningkatakan pelayanan. Bagi siapa saja yang hendak hidup di Tanah Jawa dengan damai dan sejahtera.
2. Kidung Jawa dan Lantunan Adzan
Lho, apa-apaan ini? Tentu saja pernyataan itu bisa bikin kening semua orang mengkerut. Apa maunya ini orang.
Adzan merupakan salah satu rentetan acara ritual harian bagi umat Islam. Apapun mazhabnya. Ia merupakan simbol persatuan di manapun dan sampai kapanpun.
Lalu tiba-tiba datang puisi ini. Apa tujuannya? Apa dia orang yang beragama Islam?
Orang yang beragama bukan Islam pasti akan lebih berhati-hati. Justru orang Islam yang biasanya sembrono dengan dirinya sendiri. Dia merasa tidak terlalu berdosa bila mengiris jarinya sendiri dibandingkan bila dia mengiris jari orang lain.
Oh ya, kita pun kembali maklum. Dia tidak paham syariat Islam. Mohon dimaafkan. Apalagi bila kemudian dia telah memohon maaf dengan berurai air mata.
Siapa tidak tersentuh. Seorang yang sudah demikian sepuh, menangis. Di depan umum.
3. Budaya dan Agama
Budaya itu lahir dan tumbuh dari adat kebiasaan yang mulia pada salah satu sudut bumi. Yang bisa saja berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Sedangkan agama merupakan wahyu dari langit. Diturunkan oleh Allah yang telah menciptakan alam semesta. Sehingga manusia memperoleh jalan pintas. Tentang bagaimana menyatu dengan alam sekitarnya. Tanpa banyak melakukan try and error. Supaya hidupnya yang hanya sebentar di bumi ini tidak menimbulkan malapetaka bagi sesama.
Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru bisa berdialog untuk kebaikan umat manusia dan alam semesta.
Dari sinilah terbuka pintu yang sangat luas untuk belajar. Sinau bareng…
Nah, silakan baca juga:
Kaidah Fiqih 5: Adat Itu Memiliki Kekuatan Hukum
4. Belah bambu
Secara sepintas sudah terlihat jelas. Puisi itu hendak memuliakan salah satu pihak. Dengan cara mencurigai dan menuduh pihak yang lain.
Cara seperti itu hanya dilakukan oleh orang yang sengaja hendak bertindak tidak adil.
Hal itu semakin parah. Karena sejak semula sudah disampaikan. Bahwa dia tidak mampu memahami pihak yang lain. Sempurna sudah. Sebagai cara untuk tidak bisa bertindak adil.
Kiranya hal ini merupakan inti dari persoalan dari puisi yang beliau bacakan itu. Entah dibuat oleh siapa puisi itu.
***
Otokritik bagi Para Ustadz
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya sampaikan. Namun kiranya cukup ini saja.
Toh masalah ini sebenarnya juga tidak begitu penting. Selain peringatan buat kita untuk berdakwah dengan lebih baik.
Ya, ini merupakan otokritik buat kita sebagai para pendakwah. Boleh jadi karena perilaku dakwah kita yang kurang simpati. Sehingga orang seperti beliau jadi antipati kepada dakwah. Siapa tahu, malah kita yang keliru. Bukan beliau dan yang semisal dengannya.
Juga peristiwa ini menunjukkan dengan jelas. Bahwa masih terlalu luas lahan dakwah kita. Masih terlalu banyak orang yang belum paham syariat Islam. Mereka bener-bener nol puthul.
Maka janganlah seorang ustadz bertengkar dengan sesama ustadz. Para juru dakwah dengan sesama juru dakwah. Saling pukul dan hantam. Sungguh tidak pantas. Bikin orang awam seperti mereka tambah bingung. Padahal. Masih terlalu banyak yang harus kita kerjakan.
Terima kasih.
***
Teks Asli Puisi Ibu Sukmawati
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
***
Sumber kutipan puisi: idntimes.com